Lana Soelistianingsih's guest appearances

Lana Soelistianingsih

Talking Indonesia

Radio Klite 107.1 Fm Bandung

Titi Anggraini

Djayadi Hanan

Intan Paramaditha

Michele Ford

Sidney Jones

Ian Wilson

Jenny Munro

Eve Warburton

Bambang Brodjonegoro

Roanne Van Voorst

Julie Chernov Hwang

Sandra Hamid

Marcus Mietzner

Nava Nuraniyah

Nurul Widyaningrum

OwlTail

LANA SOELISTIANINGSIH - EKONOM SAMUEL AM (JIWASRAYA) 13 JAN 2020 _2

LANA SOELISTIANINGSIH - EKONOM SAMUEL AM (JIWASRAYA) 13 JAN 2020 _2

Tidak seperti di negara-negara maju–di mana asuransi sudah menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara di negara berkembang seperti halnya Indonesia, hampir sepertiga penduduk Indonesia tidak mempunyai asuransi. Baik asuransi yang bisa melindungi mereka dari kecelakaan, sakit, atau menjamin pendidikan demi masa depan anak. Hal ini karena asuransi masih dianggap sebagai “barang” mewah—yang hanya dimiliki oleh masyarakat kalangan menengah atas. Selain itu premi yang terlalu tinggi dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya asuransi, menyebabkan asuransi tidak terlalu diminati masyarakat berpenghasilan rendah. Maka tak heran kalau dalam perbandingan dengan negara-negara di Asia, kesadaran ber-asuransi masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah.  Jepang 1 banding 6; artinya rata rata 1 orang penduduk Jepang mempunyai Asuransi sebanyak 6 polis Singapore 1 banding 4; artinya rata rata 1 orang Singapore mempunyai asuransi sebanyak 4 polis Malaysia 1 banding 2; artinya rata rata 1 orang mempunyai asuransi sebanyak 2 Sedangkan Indonesia 1 banding 0,02; artinya dari 100 orang Indonesia hanya ada 2 orang yang memiliki asuransi  Nah, di tengah situasi seperti itu, kita dihadapkan pada problem yang membelit PT Asuransi Jiwasraya—sebuah Badan Usaha Milik Negara. Bermula dari kesalahan investasi, Jiwasraya kini terlibat kasus gagal bayar premi asuransi JS Saving Plan mencapai Rp Rp12,4 triliun. Dana itu merupakan akumulasi kewajiban pencairan klaim polis yang gagal dibayar perusahaan sampai periode Oktober-Desember 2019. Baru-baru ini, dari hasil investigasi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, adanya dugaan kejahatan korporasi dalam pengelolaan perusahaan pada tahun 2018. Praktik yang diduga melibatkan jajaran direksi, manajer, dan pihak lain di luar perusahaan itu, mengakibatkan kerugian internal negara. Sejauh ini, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp13,7 triliun. Ketua BPK Agung Firman menyatakan, pihaknya telah dua kali memeriksa PT Asuransi Jiwasraya sepanjang 2010-2019, yakni pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 2016 dan pemeriksaan investigatif sejak 2018. Atas kemelut ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan membentuk perusahaan induk (holding) untuk menyelamatkan Jiwasraya. Perusahaan induk ini nantinya akan mendapatkan suntikan dana Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun. Sehingga nasabah-nasabah yang selama ini tidak ada kepastian, akan ada cashflow bergulir karena tidak boleh disetop. Persoalan Jiwasraya ini dikhawatirkan akan berefek bola salju– akan berimbas pada industri asuransi di negara kita, baik milik negara maupun yang dikelola swasta. Padahal, kebiasaan berasuransi adalah gaya hidup yang baik. Artinya orang tidak abai pada jaminan keselamatan bagi diri sendiri maupun keluarganya. Lantas, mengurai benang kusut skandal Jiwasraya—apa sesungguhnya pokok pangkal dan jalan keluarnya? Siapa yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini? Bagaimana agar kasus ini tak berimbas pada semangat berasuransi masyarakat Indonesia – yang terbilang sudah sangat rendah itu? Guna menjawab persoalan ini, Radio KLITE fm Bandung berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dody Dalimunthe (Direktur Eksekutif Dewan Asuransi Indonesia), Piter Abdullah (Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), dan Lana Soelistianingsih (Ekonom Samuel Aset Manajemen). (Heri CS)

Tidak seperti di negara-negara maju–di mana asuransi sudah menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara di negara berkembang seperti halnya Indonesia, hampir sepertiga penduduk Indonesia tidak mempunyai asuransi. Baik asuransi yang bisa melindungi mereka dari kecelakaan, sakit, atau menjamin pendidikan demi masa depan anak. Hal ini karena asuransi masih dianggap sebagai “barang” mewah—yang hanya dimiliki oleh masyarakat kalangan menengah atas. Selain itu premi yang terlalu tinggi dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya asuransi, menyebabkan asuransi tidak terlalu diminati masyarakat berpenghasilan rendah. Maka tak heran kalau dalam perbandingan dengan negara-negara di Asia, kesadaran ber-asuransi masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah. <ol> <li>Jepang 1 banding 6; artinya rata rata 1 orang penduduk Jepang mempunyai Asuransi sebanyak 6 polis</li> <li>Singapore 1 banding 4; artinya rata rata 1 orang Singapore mempunyai asuransi sebanyak 4 polis</li> <li>Malaysia 1 banding 2; artinya rata rata 1 orang mempunyai asuransi sebanyak 2</li> <li>Sedangkan Indonesia 1 banding 0,02; artinya dari 100 orang Indonesia hanya ada 2 orang yang memiliki asuransi</li> </ol> Nah, di tengah situasi seperti itu, kita dihadapkan pada problem yang membelit PT Asuransi Jiwasraya—sebuah Badan Usaha Milik Negara. Bermula dari kesalahan investasi, Jiwasraya kini terlibat <a href="https://www.radioidola.com/2020/mencari-jalan-keluar-kemelut-kasus-jiwasraya/" rel="nofollow" target="_blank">kasus gagal bayar premi</a> asuransi JS Saving Plan mencapai Rp Rp12,4 triliun. Dana itu merupakan akumulasi kewajiban pencairan klaim polis yang gagal dibayar perusahaan sampai periode Oktober-Desember 2019. Baru-baru ini, dari hasil investigasi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, adanya dugaan kejahatan korporasi dalam pengelolaan perusahaan pada tahun 2018. Praktik yang diduga melibatkan jajaran direksi, manajer, dan pihak lain di luar perusahaan itu, mengakibatkan kerugian internal negara. Sejauh ini, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp13,7 triliun. Ketua BPK Agung Firman menyatakan, pihaknya telah dua kali memeriksa PT Asuransi Jiwasraya sepanjang 2010-2019, yakni pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 2016 dan pemeriksaan investigatif sejak 2018. Atas kemelut ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan membentuk perusahaan induk (holding) untuk menyelamatkan Jiwasraya. Perusahaan induk ini nantinya akan mendapatkan suntikan dana Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun. Sehingga nasabah-nasabah yang selama ini tidak ada kepastian, akan ada cashflow bergulir karena tidak boleh disetop. Persoalan Jiwasraya ini dikhawatirkan akan berefek bola salju– akan berimbas pada industri asuransi di negara kita, baik milik negara maupun yang dikelola swasta. Padahal, kebiasaan berasuransi adalah gaya hidup yang baik. Artinya orang tidak abai pada jaminan keselamatan bagi diri sendiri maupun keluarganya. Lantas, mengurai benang kusut skandal Jiwasraya—apa sesungguhnya pokok pangkal dan jalan keluarnya? Siapa yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini? Bagaimana agar kasus ini tak berimbas pada semangat berasuransi masyarakat Indonesia – yang terbilang sudah sangat rendah itu? Guna menjawab persoalan ini, Radio KLITE fm Bandung berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dody Dalimunthe (Direktur Eksekutif Dewan Asuransi Indonesia), Piter Abdullah (Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), dan Lana Soelistianingsih (Ekonom Samuel Aset Manajemen). (Heri CS)

MENGURAI SILANG SENGKARUT MEGA SKANDAL JIWASRAYA  BERSAMA Dr. LANA SOELISTIANINGSIH

With the 2019 elections now just weeks away, the economy has become a key issue in the campaign. In comparative terms, Indonesia's current GDP growth of over 5 per cent is healthy. However, this is below the 7 per cent President Joko Widodo pledged to deliver during the 2014 campaign. The president's opponents also claim that the government's huge expenditure on major infrastructure projects and social welfare programs has failed to deliver benefits for all Indonesians.What is the current state of Indonesia's economy and what are the key economic issues for voters? Has Jokowi's Indonesia Maju (Indonesia Progress) program paid off?Our guest this week is economist Lana Soelistianingsih. Lana is a senior lecturer in the Faculty of Business and Economics at Universitas Indonesia and Head of Research at Samuel Asset Management.In 2019, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from the Australia-Indonesia Centre, Dr Dave McRae from the University of Melbourne’s Asia Institute, Dr Charlotte Setijadi from the ISEAS-Yusof Ishak Institute in Singapore and Dr Dirk Tomsa from La Trobe University.Look out for a new Talking Indonesia podcast every fortnight. Catch up on previous episodes here, subscribe via iTunes or listen via your favourite podcasting app.Image: Flickr/Creative Commons.

With the 2019 elections now just weeks away, the economy has become a key issue in the campaign. In comparative terms, Indonesia's current GDP growth of over 5 per cent is healthy. However, this is below the 7 per cent President Joko Widodo pledged to deliver during the 2014 campaign. The president's opponents also claim that the government's huge expenditure on major infrastructure projects and social welfare programs has failed to deliver benefits for all Indonesians. What is the current state of Indonesia's economy and what are the key economic issues for voters? Has Jokowi's Indonesia Maju (Indonesia Progress) program paid off? Our guest this week is economist Lana Soelistianingsih. Lana is a senior lecturer in the Faculty of Business and Economics at Universitas Indonesia and Head of Research at Samuel Asset Management. In 2019, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from the Australia-Indonesia Centre, Dr Dave McRae from the University of Melbourne’s Asia Institute, Dr Charlotte Setijadi from the ISEAS-Yusof Ishak Institute in Singapore and Dr Dirk Tomsa from La Trobe University. Look out for a new Talking Indonesia podcast every fortnight. Catch up on previous episodes here, subscribe via iTunes or listen via your favourite podcasting app. Image: Flickr/Creative Commons.